PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN
ISLAM PADA MASA
PEMERINTAHAN
DINASTI-DINASTI KECIL DI TIMUR BAGHDAD
Makalah Ini Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah dan Kebudayaan Islam
Dosen Pengampu Murodi,MA
Makalah Disusun oleh:
1. DEDE WAHYUDIN
2. DELVIA MEGASARI
PROGRAM PENDIDIKAN PROPESI GURU
UIN JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul “Dinasti-Dinasti Kecil Di
Timur Baghdad”
dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala
keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu
mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang telah memberikan arahan dan bimbingan
dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
Sejarah Kebudayaan Islam dan dipresentasikan dalam pembelajaran di kelas. Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai 3 sub pokok bahasan yaitu:
Dinasti
Thahiriyah, Dinasti Shaffariyah, dan Dinasti Samaniyah. Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh semua
mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan dan pemahaman sejarah
kebudayaan islam di masa lampau.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini,
dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya
dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah
adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang
konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
KATA
PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. PEMBAHASAN
- Dinasti-Dinasti Kecil Di Timur Baghdad
1.
Dinasti Thahiriyah ( 205-259 H /
820-872 M)
2.
Dinasti Shaffariyah (254 – 290 H /
867 – 903 M)
3.
Dinasti Samaniyah (261 – 389 H /
874 – 999 M)
B.
Kemajuan Ilmu Pengetahun
C.
Kondisi Sosial, Politik, Dan
Ekonomi Dinasti-Dinasti Kecil Di Timur
BAB III. KESIMPULAN
BAB IV. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I. PENDAHULUAN
Sudah merupakan sunnatullah bahwa pada setiap ummat
manusia akan selalu ada masa kebangkitan,
perkembangan, kejayaan juga kemunduran bahkan kejatuhan pada setiap
gelombang kekuasaan politik. Hal ini terkait erat diantaranya dengan kinerja sang
penguasa itu dalam menjalankan roda kekuasaannya. Kenyataan ini tak bisa
dibantah karena tampaknya ada semacam korelasi positif antara sumber daya
penguasa dengan kemampuan mempertahankan, mengembangkan dan memajukan
pemerintahan.
Menurut para pakar sejarah Islam, Daulah Abbasiyah (
750-1258 M ) telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai dengan
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian, dan filsafat. Data
monumental dari daulah abbasiyah, yaitu berdirinya kota baghdad yang megah,
kota yang didirikan atas prakarsa raja-raja dinasti ini. Menurut Philip K. Hitti, kota Baghdad merupakan
kota terindah yang dialiri sungai dan benteng-benteng yang kuat serta pertahanan
militer yang cukup kuat[1]).
Sekalipun demikian, dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas
negerinya, karena setelah khalifah Harun Ar-Rasyid, daerah kekuasaan dinasti
ini mulai goyah, baik daerah yang ada di bagian barat maupun yang ada di bagian
timur baghdad. Di bagian timur, menurut J.J.
Saunder berdiri dinasti-dinasti kecil, yaitu Thahiriyah, Saffariyah, dan
Samaniyah[2]).
Adapun faktor-faktor yang mendorong berdirinya
dinasti-dinasti kecil ini, yaitu adanya persaingan jabatan khalifah di antara
keluarga raja dan munculnya sikap ashabiyah antara keturunan Arab dan non-Arab,
tepatnya persaingan Arab dan Persia[3]).
BAB II. PEMBAHASAN
A.
DINASTI-DINASTI KECIL DI TIMUR BAGHDAD
1. Dinasti Thahiriyah ( 200-259 H / 820-872 M)
Dinasti ini didirikan oleh Thahir bin Husein seorang yang
bearasal dari persia, di Khurasan dengan Nishapur sebagai ibu kotanya[4]). dan ia merupakan keluarga
pertama di timur yang memperoleh kekuasaan semacam otonomi. Thahir memperoleh
kekuasaan setelah mengabdi pada kholifah al-Makmun sebagai jenderal atau
panglima perang. Awalnya ia membantu al-Makmun dalam merebut kekuasaan dari
al-Amin, saudara seayahnya. Perebutan kekuasaan antara al-Amin dan al-Makmun
ini dilatarbelakangi dan diperhebat oleh persaingan antara golongan Arab dan
Persia pada masa al-Makmun dan masa sebelumnya.
Pada mulanya
Al-Ma’mun memberikan kesempatan kepada Thahir untuk memegang jabatan gubernur
di Mesir pada tahun 205 H, kemudian dipercaya juga untuk mengendalikan wilayah
timur. Pada
masa al-Makmun ia termasuk orang-orang yang diuntungkan, karena pada masa ini
orang-orang Persia diberi kedudukan lebih kuat dari pada orang-orang Arab. Perluasan wilayah
Islam pun semakin pesat. Pembauran antara orang-orang Arab dan orang-orang
Persia serta para bekas pemeluk agama lain berlangsung dengan baik[5]).
Karena keberhasilan Thahir dalam memimpin pasukan
perangnya itulah al-Makmun kemudian menghadiahkan kepadanya untuk menjadi
gubernur atau amir di daerah sebelah timur Baghdad pada tahun 820 M[6]). Pada tahun ini pula
secara resmi dijadikan sebagai awal berdirinya dinasti Thahiriyah.
Dinasti Thahiriyah menguasai wilayah Khurasan yang sangat
luas (terletak di sebelah timur laut Iran) juga menguasai wilayah Transoxiana
(wilayah subur yang terletak antara sungai Sir Darya dan sungai Amu Darya yang
berhulu pada laut Ural, tempat kediaman suku-suku Turki yang terkenal gagah
berani[7]). Sejak didirikannya
dinasti Thahiriyah ini mulailah di Iran timbul kekuasaan yang berdiri sendiiri.
Akan tetapi dinasti ini masih mematuhi dan
menjalin hubungan baik,
mereka masih menyetor pajak dan upeti kepada kholifah di Baghdad[8]). Lagi pula hubungan ini
ditunjang oleh pengiriman utusan setiap saat ditambah adanya anggota keluarga
bani Thahir yang merangkap menjadi kepala kepolisian di Baghdad.
Setelah Thahir wafat (822 M), kekuasaan dinasti dilanjutkan oleh anaknya, Thalhah.
Ia memegang kendali dinasti Thahiriyah selama enam tahun yaitu 822-828 M.
Kemudian kekuasaannya dilanjutkan oleh saudaranya yang bernama Abdullah bin
Thahir yang memerintah dari tahun 828-844 M. Di masa Abdullah ini hubungan
dengan Baghdad terjalin dengan baik sehingga kholifah memberi tambahan
kekuasaan yakni wilayah Mesir. Para pengganti Thahir ini mampu mengembangkan
wilayah kekuasaannya hengga perbatasan India.
Dan pada tahun 213 H, wilayah kekuasaan Abdullah Ibn
Thahir dikurangi dan Al-Ma’mun menyerahkan Suriah, Mesir, dan Jazirah kepada
saudaranyanya sendiri, yaitu Ishak Ibn Harun Ar-Rasyid[9]).
Hal ini dilakukan oleh Al-Ma’mun setelah ia menguji kesetiaan Abdullah Ibn
Thahir, yang diketahui ternyata cenderung memihak kepada keturunan Ali Ibn Abi
Thalib[10]).
Sesudah Abdullah Ibn Thahir, jabatan
gubernur Khurasan dipegang oleh saudaranya, yaitu Muhammad Ibn Thahir ( 248-259
H ). Ia merupakan gubernur terakhir dari keluarga Thahiri. Kemudian daerah
Khurasan diambil alih oleh keluarga Saffari melalui perjuangan senjata.
Keluarga Saffari merupakan saingan keluarga Thahiri di Sijistan[11]).
Berdirinya dinasti Thahiriyah yang terlepas dari Baghdad
ini pada kenyataannya sangat berpengaruh pada kekuasaan politik dinasti
Abbasiyah yang terpusat di Baghdad. Kemenangan-kemenangan militer dinasti
Abbasiyah selama ini terutama adalah berkat pasukan yang disuplai dari
Khurasan. Selama setengah abad mereka khalifah di Baghdad terus bergantung pada
tentara-tentara terlatih tersebut. Dengan adanya otonomisasi Khurasan yang
terjadi pada tahun 820 M membuat Baghdad kehilangan asset militernya yang
sangat berharga. Untuk mengantisipasinya, khalifah di Baghdad kemudian mulai
merekrut orang-orang Turki sebagai bagian utama dari kekuatan militer baru
dinasti Abbasiyah[12]).
Akan tetapi, ketika Dinasti Thahiri di Khurasan mendekati
masa kemunduran, tampaknya keluarga Abbasiyah menunjukan perubahan sikap.
Mereka mengalihkan perhatiannya kepada keluarga Saffari yang mulai menggerogoti
dan melancarkan gerakan untuk menguasai Khurasan[13]).
Para ahli sejarah mengakui bahwa
pada zaman Thahiri, dinasti ini telah memberikan sumbangan dalam memajukan
ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam. Pada masa itu, negeri
Khurasan dalam keadaan makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik[14]).
2. Dinasti Shaffariyah (254 –
290 H / 867 – 903 M)
Philip
K. Hitti mengatakan bahwa Dinasti Shaffari didirikan oleh Ya’qub bin al-Laits al-Shaffar, Dinasti ini
lebih singkat jika dibandingkan dengan Dinasti Thahiriyah. Dinasti ini hanya
bertahan selama 21 tahun. Ia berasal dari keluarga perajin tembaga dan semenjak
kecil bekerja di perusahaan orang tuanya. Keluarga ini berasal dari Sijistan[15]).
Selain ahli dalam bidang ini, ia juga di kenal gemar merampok, tetapi dermawan
terhadap fakir miskin[16]).
Menurut
Boswort, sekalipun singkat, kelompok Shaffariyah ini memiliki kekuasaan yang
cukup luas dan megah[17]).
Pada waktu itu Ya’kub mendapat simpati dari pemerintah Sijistan karena dinilai
memiliki kesopanan dan keberanian. Oleh karena itu, Ya’kub ditunjuk untuk memimpin
pasukan memerangi pembangkang terhadap Daulah Abbasiyah di bagian timur,
khusunya di Sijistan, ia berhasil mengalahkan para pembangkang dalam waktu
relatif singkat. Akhirnya ia berjalan sendiri tanpa menghiraukan perintah
baghdad setelah ia menjabat Amir di Khurasan. Selanjutnya, menguasai kota Harat
dan Busang. Setelah berhasil mengusir tentara Thahiriyah, akhirnya ia menjadi
pemimpin di daerah itu[18]).
Ya’kub juga menaklukan sisa-sisa kekuasaan yang pernah di kuasai oleh
Thahiriyah yang masih setia di Khurasan sehingga kekuasaannya semakin luas dan
mantap[19]).
Shaffariyah
juga dikenal sebagai dinasti yang dipimpin oleh rakyat jelata, dan perilaku
mereka seperti bandit dan yang menjadi elemen-elemen mereka juga tokoh-tokoh
radikal.
Ya’kub
menjadi pemimpin dinastinya kurang lebih sebelas tahun. Setelah ia meninggal
pada tahun 878 M, kepemimpinannya diserahkan kepada saudaranya, Amr Ibn
Al-Laits. Sikap Amr ini tidak keras seperti saudaranya, Ya’kub, bahkan sebelum
ia diangkat menggantikan Ya’kub, ia telah mengirimkan surat kepada pemerintahan
Baghdad yang intinya akan mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh Baghdad
pada daerahnya. Dengan demikian, pengangkatan Amr pun mendapat sokongan dari
Baghdad[20]).
Pada
saat khalifah Baghdad dipegang oleh Al-Mu’tadid, Baghdad tetap mengakui
kekuasaan Amr, sekalipun mendapat prerlawanan dari kalangan istana. Pembesar
istana menahan Amr, kemudiaan memberikan kekuasaan kepada cucunya, Thahir Ibn
Muhammad Ibn Amr. Setelah Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr, kekuasaan diberikan kepada
saudaranya Al-Laits Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khlifah ini berhadapan dengan
As-Sabakri, yaitu pembantu Amr Ibn Al-Laits. Pada saat inilah terjadi perebutan
kekuasaan dan berakhirlah riwayat Dinasti Shaffariyah.
3. Dinasti Samaniyah (261 –
389 H / 874 – 999 M)
Dinasti ini didirikan oleh Bani Saman yang telah berhasil
menggeser dan menggantikan dinasti Shaffariyah. Pendirinya adalah keturunan
dari seorang tuan tanah bernama Saman Khuda di daerah Balkh (Bactra) yang
mulanya menganut Zoroaster lalu memeluk Islam di masa Hisyam bin Abdul Malik
menjadi penguasa dinasti Umayyah (105-124 H).
Berdirinya
dinasti ini bermula dari pengangkatan empat orang cucu Saman oleh Khalifah
Al-Ma’mun menjadi gubernur di daerah Samarkand, Pirghana, Shash, dan Harat[21]).
Adapun ke empat orang cucunya tersebut adalah Nuh bin Asad diangkat menjadi
gubernur di Samarkand. Lalu Ahmad bin Asad ditunjuk menjadi gubernur di
Farghanah, sedangkan Yahya bin Asad dipercaya menjadi gubernur untuk wilayah
Syas dan Asyrusnah dan Ilyas bin Asad memangku jabatan gubernur wilayah Heart.
Ke empat gubernur bani Saman ini menduduki wilayah bagian Transoxiana di bawah
kekuasaan Tahir bin Husein (dinasti Thahiriyah).
Selain
mempunyai hasrat untuk menguasai wilayah yang diberikan khalifah kepada mereka,
kekempat cucu tersebut juga mendapat simpati warga Persia, Iran. Awalnya
simpati mereka itu hanya di kota-kota kekuasaannya, kemudian menyebar ke
seluruh negeri Iran, termasuk Sijistan, Karman, Jurjan, Ar-Ray, dan Tabanistan,
ditambah lagi daerah Transoxiana di Khurasan[22]).
Tegaknya
Dinasti Samaniyah ini bisa jadi merupakan manisfestasi dari hasrat masyarakat
Iran pada waktu itu. Adapun pelopor yang pertama kali memproklamasikan Dinasti
Samaniyah ini, sebagai mana penjelasan Philip K. Hitti adalah Nasr Ibn Ahmad (
874 M ), cucu tertua dari keturunan Samaniyah, bangsawan Balk Zoroasterian, dan
di cetuskan di Transoxiana[23]).
Ismail bin Ahmad adalah penerus Nashr yang mengendalikan
dinasti nin sejak tahun 892-907 M. Pada tahun 900, ia berhasil merebut wilayah
Khurasan yang masih dalam kekuasaan Amr bin al-Laits (Bani Shaffari[24]). Penguasa ketiga dari dinasti ini adalah
Ahmad bin Ismail (907-913) seorang pemberani yang berhasil menaklukan Sijistan.
Pengganti selanjutnya adalah Nashr II bin Ahmad (913-943). Di bawah
kepemimpinannya wilayah Karman, Jurjan, al-Rayy dan Tabaristan berhasil di
kuasai[25]).
Penguasa dari dinasti Samaniyah selanjutnya adalah putra
dari Nashr II yaitu Nuh I (942-954). Dia adalah penguasa dinasti Samaniyah yang
pertama kali berprilaku sangat kejam. Ia mencukil kedua mata saudaranya dan
pamannya yaitu Ibrahim. Para penerus dinasti ini secara berturut-turut adalah
sebagai berikut:
> Abdul Malik I bin Nuh tahun 954-961
> Manshur I bin Nuh tahun 961-976
> Nuh II bin Manshur tahun 976-997
> Manshur II bin Nuh II tahun 997-999
> Abdul Malik II bin Nuh II tahun 999[26]
Setelah mencapai puncak
kegemilangannya bagi bangsa Persi ( Iran ), semangat kesukuan pun cukup tinggi
pada dinasti ini. Oleh karena itu, ketika banyak imigran turki yang menduduki
posisi pemerintahan, para imigaran turki tersebut dicopot karena faktor kesukuan.
Akibat ulahnya ini, Dinasti Samaniyah mengalami kehancuran, karena mendapat
penyerangan dari bangsa Turki. Dengan keruntuhannya ini, tumbuh dinasti kecil
baru, yaitu Dinasti Al-Ghaznawi yang terletak di India dan di Turki[27]).
Dinasti Samaniyah habis tenggelam di tangan Abdul Malik
II bin Nuh II yang sewaktu dinobatkan menjadi amir masih di bawah umur,
sedangkan musuh yang dihadapinya sangat kuat yaitu Sultan Mahmud Ghaznawi
(berkebangsaan Turki). Seluruh kekuasaannya jatuh dan berpindah tangan pada dinasti
Ghaznawi. Beberapa penyebab jatuhnya dinasti Samaniyah adalah :
- Perselisihan dikalangan keluarga bani Saman
- Panglima dan pejabat banyak yang membelot dan melakukan penghianatan
- Adanya campur tangan kaum wanita dan wazir yang sangat berlebihan.
Dinasti
Samaniyah juga telah berhasil menciptakan kota Bukhara sebagai kota budaya dan
kota ilmu pengetahuan yang terkenal di seluruh dunia, karena selain Ibnu Sina,
muncul juga para pujangga dan ilmuwan yang terkenal, seperti Al-Firdausi, Ummar
Kayam, Al-Biruni, dan Zakaria Ar-Razi[28]
B. KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN
Berakhirnya
dinasti Samaniayah di Transoxiana dengan Bukhara sebagai ibu kotanya serta
Samarkand sebagai kota utamanya sangat berpengaruh pada diterapkannya
ajaran-ajaran Islam. Kedua kota ini sebagai pusat ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, hamper-hampir menyamai kebesaran kota Baghdad. Tidak hanya para ilmuwan Arab, ilmuwan
Persia pun mendapat perlindunagn dan dukungan dari pemerintah untuk
pengembangan ilmu pengetahuan.
Tidak hanya
berhenti sampai di situ, ilmu kedokteran, ilmu falak serta filsafat juga
mengalami kemajuan dengan disusun dan direkonstruksi serta diterjemahkan bahasa
Persia ke bahasa Asab. Diantara beberapa literature di bidang kedokteran yang
terkenal masa itu adalah buku al-Manshury yang dikarang oleh Abu Bakr
al-Razzi. Pada masa ini muncul pula filosof muda belia yakni Ibnu Shina yang
berhasil mengobati Amir Nuh bin Mansur pada saat Ibnu Sina berusia delapan
belas tahun. Di bidang kesusasteraan muncul al-Firdawsi (934-1020) yang menulis
sajak-sajaknya. Tercatat juga dalam sejarah seorang wazir pada pemerintahan
al-Manshur I bin Nuh (961-976) yang bernama Bal’ami. Ia menerjemahkan Mukhtasar
al-Thabari. Bahkan perpustakaan milik dinasti Samaniyah yang berada di Bukhara
memiliki berbagai koleksi buku yang tidak dijumpai di tempat lain[29]). Begitu tingginya
peradaban umat manusia di masa dinasti Samaniyah ini terlebih lagi bila
dibandingkan dengan keadaan peradaban yang terjadi pada kedua dinasti
sebelumnya. Tidak hanya dalam bidang sains dan filsafat yang berkembang dimasa
ini tetapi
juga dalam bidang ilmu-ilmu keislaman.
C. KONDISI SOSIAL, POLITIK, DAN EKONOMI DINASTI-DINASTI
KECIL DI TIMUR
Sebagian
besar dinasti kecil yang tumbuh di timur adalah keturunan parsi. Meskipun
secara politik tidak menimbulkan kesulitan bagi pemerintahan pusat di baghdad,
dari segi budaya memberikan corak perkembangan yang baru, yaitu kebangkitan
kembali nasionalisme dan kejayaan bangsa Iran lama[30]).
Masuknya
orang-orang Iran ke dalam elit kekuasaan pada masa Bani Abbas yang di mulai
dari keluarga Al-Barmark pada masa Harun Ar-Rasyid telah memberikan semangat
terpendam yang merupakan cikal bakal kebangkitan Iran baru yang berjiwa islam.
Walaupun di sana-sini timbul pertentangan antara orang-orang yang masih mempertahankan
dominasi dan nasionalisme arab dikalangan keluarga khalifah dengan pihak yang
telah beradaftasi dengan kebudayaan Iran, hal itu tidak menghalangi proses
lebih lanjut bagi perluasan pengaruh Iran dalam dunia Islam pada saat
itu.Meskipun dinasti-dinasti kecil itu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan
Dinasti Abbasiyah, namun dalam proses pemerintahan bersifat otonomi penuh.
Adapun
manfaat adanya dinasti-dinasti kecil di timur tersebut, bukan saja dirasakan
oleh Dinasti Abbasiyah sebagai penunjang kejayaan Bani Abbas, melainkan juga
bagi dinasti-dinasti kecil karena dapat terus berusaha memperluas daerah
kekuasaan mereka, sehingga ke utara memasuki jantung Asia maupun ke timur
menembus wilayah India. Dilihat dari perkembangan sosial ekonomi, munculnya
dinasti-dinasti kecil tersebut memunculkan kota-kota pusat kegiatan ekonomi.
Sebagai
penutup dan bahan perbandingan, jika pada masa dinasti Umawiyah, wilayah
kekuasaannya masih merupakan kesatuan yang utuh, yakni suatu wilayah yang luas
membentang dari Spanyol di Eropa, Afrika Utara, hingga ke timur India, pada
masa Dinasti Abbasiyah mulai tumbuh dinasti saingan yang melepaskan diri dari
kekuasaan khlifah di Baghdad, yang di mulai dengan terbentuknya Dinasti
Umawiyah II di Spanyol, sehinnga kekuasaan kekhalifahan terpecah menjdi dua
bagian, yaitu Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad dan Dinasti Umawiyah
II yang berpusat di Andalusia, Spanyol.
BAB III. KESIMPULAN
Dinasti-dinasti kecil di timur Baghjdad berdiri untuk memisahkan
diri dari Baghdad. Dihadapan para khalifah seakan-akan mereka memiliki
loyalitas kepada Baghdad, namun sesungguhnya secara teritorial, militer,
ekonomi, dan politik mereka memiliki kekuasaan independent. Dinasti-dinasti ini
menandai kelemahan kekuasaan yang terjadi di pusat, karena seabad setelah
didirikannya dinasti Abbasiyah (750-1258 M / 132-656 H) terlihat nasib
khalifah banyak ditentukan oleh panglima-panglima tentara. Erosi kekuasaan riil
Abbasiyah semakin meningkat dengan kemunculan penguasa-penguasa politik otonom
(para sultan) di hamper seluruh kawasan kekuasaan kholifah.
Dinasti-dinasti kecil seperti Thahiriyah (sekitar 54
tahun), Shaffariyah (kurang lebih 36 tahun) serta Samaniyah (selama 128 tahun)
sedikit banyaknya jelas berpengaruh pada Baghdad. Mereka secara sunnatullah
silih berganti dalam memperebutkan supremasi kekuatan politik yang kemudian
diantara sisi positif dari peran yang dimainkannya ialah mampu melahirkan
peradaban yang tidak kalah dari Baghdad. Akan tetapi untuk masa depan dinasti
Abbasiyah sendiri keadaan demikian sangat membahayakan dan merugikan.
BAB IV. PENUTUP
Demikianlah uraian singkat makalah tentang Dinasti-Dinasti Kecil Di
Timur Baghdad. Tulisan ini masih sangat terbatas dan memerlukan tambahan guna memperluas
wawasan kita. Oleh karena kami
sebagai penulis sangat mengharapkan bantuan, kritik, dan saran, serta
bimbingan-nya kepada bapak dosen pengampu mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
-
Dr. Yatim badri, M.A. Dirasah Islamiyah II.Jakarta
RajaGrafindo Persada, 2008. hal. 65
-
Dedi Supriyadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam.
Bandung Pustaka Setia, 2008. hal. 143-154
[3] Syed Mahmudunnaseer. Islam Its Consept and History. New
Delhi; Kitab Bavhan, 198, hlm. 200. Thesis Mahmudunnaseer ini berdasarkan pada
adanya persaingan antara Al-Amin dan Al-Ma’mun, keduanya adalah putra khalifah
Harun Ar-Rasyid, dan ternyata Al-Ma’mun menang dan mendapat dukungan dari
masyarakat persia, karena mereka menganggap Ma’mun lebih dekat dengan rakyat
dan ibunya pun seorang selir Harun Ar-Rasyid dari keturunan persia.
[4] Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya Sampai Sekarang,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hal. 112
[5] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, Bandung: Rosda, 1987, hal.116
[6] Op Cit, hal. 461
[7] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah II , Jakarta: Bulan
Bintang, 1977, hal. 60
[8] Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-‘Arabi Juz 5 : ‘Ash al Daulah wa
al-Imarat, Kairo: Dar al- Maarif, hal. 471
[12] Kejayaan Islam, hal.105
[24] History of Arabs, hal. 462
[25] Tarikh al-Islami, hal. 74
[26] Ibid, hal. 71
[29] History of The Arab, hal. 462-463 dan Tarikh al-Islami, hal 82